Article by: Endang Larasati, M.Hum
Tahun
2016-2018 adalah tahun dimana manusia benar-benar dikuasai oleh modernisasi.
Bentuk modernisasi yang sangat nyata dalam kehidupan kita adalah internet.
Internet memang sudah ada sejak tahun 90 an. Awalnya tujuan internet diciptakan
adalah sebagai alat komunikasi dan pengiriman data antar komputer. Tetapi
sepertinya bukan hanya sekedar itu, internet sekarang terus berkembang bukan
hanya di negara yang menciptakannya tetapi juga seluruh dunia menggunakan
internet untuk hidup yang lebih baik dan maju.
Bagaimana
dengan Indonesia, dikutip dari KOMPAS.com Indonesia merupakan negara ke enam
pengguna internet terbesar di dunia setelah Jepang yang menduduki urutan
kelima. Jadi jangan heran kalau sebagian waktu orang Indonesia banyak
dihabiskan untuk berselancar di dunia maya, dan hal ini bukan hanya dilakukan
oleh usia tertentu saja, hampir semua kalangan dari muda sampai tua sudah
menggunakan internet. Apalagi sejak diberlakukannya Kurikulum 2013 sejak tahun
ajaran 2013/2014. Setiap siswa dan guru wajib untuk mencari referensi dan
sumber belajar dari internet. Ini menggambarkan bahwa memang internet baik itu
terkoneksi melalui komputer, laptop dan handphone benar-benar memiliki pengaruh
yang sangat luar biasa terhadap perkembangan teknologi di Indonesia, dimana
setiap orang harus menguasai internet di era digital seperti saat ini.
Disamping
memiliki dampak terhadap perkembangan teknologi, ternyata internet juga menjadi
dasar kemunculan masalah, terutama terhadap berita-berita yang dianggap kecil
atau tidak seberapa dan dibesar-besarkan. Hal ini membuat para pengguna
internet khususnya pengguna sosial media aktif mudah terpengaruh dan tanpa
disadari bisa ikut-ikutan meyebarkan berita hoax (tidak benar). Adapun
terkadang berita benar yang dengan mudahnya tersebar didunia maya membuat si
orang yang diberitakan merasa malu karena namanya terlanjur buruk di kalangan
masyarakat. Apalagi seorang pendidik yang mengalami hal itu. Seolah-olah guru
tidak ada lagi harganya, karena namanya telah dicoreng dan dianggap jelek
dikalangan masyarakat terutama di dunia pendidikan.
Banyak
sebenarnya kasus yang memberitakan para pendidik sebagai pelaku yang telah melakukan
kekerasan kepada murid mereka. Entah seperti apa bentuk kekerasan atau penganiayaan
yang telah dilakukan, yang pasti orang yang membaca atau mendengar pasti akan
merasa geram, kenapa guru sebagai contoh bisa melakukan hal seperti itu kepada
murid nya. Itu lah dampak dari kasus yang seharusnya bisa diselesaikan secara
kekeluargaan tetapi karena kita sudah hidup di zaman digital, akan mudah sebuah
berita tersebar ke seluruh penjuru nusantara. Terus kalau sudah begini
bagaimana penilaian terhadap guru di Indonesia sekarang.
Masihkah
profesi guru kita anggap hebat saat ini? Atau kita mengira bahwa murid adalah
profesi baru yang bisa dianggap lebih hebat kedudukan nya saat ini dibandingkan
guru. Bagaimana tidak, diera digital saat ini tindak tanduk guru akan mudah tercium
oleh pengguna internet terutama sosial media. Sehingga nama guru tidak lagi
indah saat ini. Banyak kejadian perihal pendidik yang namanya tercoreng bahkan
sempat bermalam dirumah pesakitan dikarenakan menyentil atau mencubit siswa
yang sibuk main hp di kelas saat jam pelajaran. Naluri seorang guru yang kita
anggap sebagai orang tua kedua sekolah pun secara refleks melayangkan sebuah
cubitan, agar si anak tadi mau mendengarkan nya untuk tidak main hp lagi dan
mengikuti pelajaran yang sedang berlangsung. Tetapi apa daya sebuah peraturan
pemerintah tentang perlindungan anak sepertinya cukup menjadi tameng dan bom
waktu yang kapan saja bisa meledak dan menyerang siapa saja yang berprofesi
sebagai guru. Cerita diatas adalah contoh kecil yang dialami oleh seorang guru
di Sulawesi Selatan pada tahun 2017 lalu.
Sebenarnya
banyak lagi kasus-kasus serupa yang korbannya justru paling banyak adalah guru.
Pantas saja moral bangsa kita sudah semakin terkikis oleh sebuah tameng yang
kita sebut peraturan. Lalu dimana peran orang tua terhadap anak-anak mereka.
Apakah para orang tua juga sadar bahwa tujuan dari menyekolahkan anak-anak
mereka itu kepada siapa dan untuk apa. Kalau bukan orang tua yang bekerjasama dengan
guru lalu siapa. Dalam hal ini sebenarnya orang tua memiliki kekuatan dasar
dalam hal pendidikan tanpa mengesampingkan tugasnya sebagai orang tua. Mereka
juga harus mengawasi setiap tindakan anak mereka, tingkat kemajuan belajar
mereka dan semua itu bisa dikomunikasikan kepada guru di sekolah, sehingga tidak
ada lagi simpang siur antara orang tua dan guru. Namun, seorang guru juga tetap
harus bertindak sesuai koridornya tanpa harus menggunakan kekerasan. Karena
kekerasan juga bukanlah satu-satunya cara terakhir dalam menghadapi persoalan
siswa. Disinilah sebenarnya tampak tugas nyata dari seorang guru BP di sekolah.
Berdasarkan
latar belakang diatas maka penulis bermaksud untuk kembali menjelaskan tentang
dua hukum yang ditetapkan oleh pemerintah yang saling berkaitan antara pendidik
dan peserta didik, sehingga diharap pembaca dapat paham betul tentang hukum
yang ada di Indonesia dan fokus dalam tulisan ini adalah hukum perlindungan
anak dan hukum perlindungan profesi guru. Dimana kedua nya memiliki tempat dan
hak yang sama yaitu sama-sama harus dilindungi, mengingat guru adalah kunci
dari kesuksesan murid dan murid juga merupakan penerus bangsa yang harus tumbuh
dengan baik.
Seperti
yang diketahui, bahwa kita hidup di
Indonesia berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Demi
mencapai kedamaian hidup bernegara tidak salah memang jika ada batasan-batasan
perilaku, sehingga dengan adanya hukum maka menjadi tolak ukur bagi setiap
orang apabila ingin melakukan hal-hal yang melanggar atau di luar hukum.
Perlindungan terhadap profesi guru sebenarnya sudah diatur dalam peraturan
pemerintah nomor 74 tahun 2008. Dalam peraturan pemerintah tersebut, guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama yaitu mendidik , mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Namun
belakangan ini, eksistensi pendidik seringkali dihadapkan dengan realitas yang
tidak mendukung pelaksanaan tugas profesinya. Sebut saja, adanya pengaduan
orang tua dan masyarakat terhadap kekerasan yang dilakukan pendidik pada saat
melaksanakan tugasnya di sekolah. UU Perlindungan Anak sesungguhnya merupakan
upaya negara untuk melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang
sewenang-wenang dari orang dewasa, yang dalam konteks ini adalah guru. Namun,
keberadaan UU tersebut seringkali disalahartikan. Artinya, UU Perlindungan Anak
dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan pendidik. Kondisi ini tentu
saja berdampak semakin sulitnya guru dalam melaksanakan tugas kependidikan untuk
menegakkan kedisiplinan yaitu membina kepribadian anak dengan akhlak yang
terpuji. Dalam dunia pendidikan kita mengenal adanya pemberian punishment
(hukuman) dan reward (penghargaan). Keduanya itu merupakan salah satu alat
pendidikan untuk meningkatkan prestasi dan menegakkan kedisiplinan di
lingkungan sekolah. Namun, dengan adanya UU Perlindungan Anak seakan dunia
pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan.
Sebab,
seorang guru yang bertugas memberikan kedua hal tersebut mungkin ketakutan jika
akan menjatuhkan punishment kepada siswa yang melanggar. Padahal, eksistensi
reward dan punishment sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Oleh
sebab itu, harus ada keseimbangan antara keduanya. Artinya, jika melanggar, maka
konsekuensinya adalah mendapat hukuman. Begitu pula sebaliknya, jika
berprestasi, maka penghargaan menjadi alat untuk meningkatkan prestasi
tersebut. Saat ini guru seringkali berada pada posisi yang dilematis, yaitu
antara tuntutan profesi dan perlakuan UU, di satu sisi guru diberikan kewajiban
agar mampu menghantarkan peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan, yang
salah satunya adalah menjadikan generasi yang berkarakter (berakhlak) baik. Di
sisi lain, ketika mereka berupaya untuk menegakkan kedisiplinan, mereka
dihadang oleh UU Perlindungan Anak. Misalnya, ada seorang murid yang melakukan
tindakan yang tidak terpuji, kemudian seorang guru mengingatkannya. Akan
tetapi, karena si anak tidak mengindahkannya, bahkan menantang seorang guru,
maka guru harus tegas. Namun, pada akhirnya ketegasan seorang guru akan dibalas
dengan hukuman, karena melanggar UU Perlindungan Anak. Sehingga, tak jarang
guru harus berurusan dengan kepolisian. Sungguh memprihatinkan nasib guru saat
ini.
Tentu saja
dalam hal ini, guru menjadi sosok yang serba salah. Akibatnya, eksistensi guru
berada pada posisi yang sangat pasif. Jika mereka mencoba aktif dan peduli
dengan murid yang melanggar, maka penjara sudah menunggunya. Memang secara
yuridis, Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No. 14/2005. Hal
ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah,
masyarakat, organisasi profesi, atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Guru harus pandai-pandai
menyikapi hal itu. Jika ada murid yang melanggar dan sulit untuk dinasehati,
maka guru perlu memanggil orang tua secara langsung. Namun, jika cara itu tidak
juga menunjukkan perbaikan, maka guru bisa memberikan hukuman atau
menyerahkannya kepada orang tua (dikeluarkan). Memang perlu upaya yang lebih
dalam rangka menyelesaikan masalah ini.
Pemerintah
harus melindungi guru, agar mereka bisa menunaikan tugasnya dengan baik. Selain
itu, masyarakat perlu juga sadar dengan posisi guru yang sangat dilematis.
Dengan begitu, tujuan pendidikan nasional akan tercapai dengan baik dan tidak
ada yang dirugikan. Sehingga kriminalisasi pendidik
tidak boleh terjadi di negeri yang benar-benar serius mau mencerdaskan
anak-anak bangsa. Guru sebagai pendidik anak-anak bangsa mesti dilindungi
profesinya dan didukung agar dapat menciptakan sekolah yang ramah anak dan anti
kekerasan. Jangan sampai persoalan kekerasan dalam
pendidikan saat ini berujung pada pemidanaan pendidik yang bermaksud menegakkan
aturan sekolah.
Peristiwa-peristiwa yang melibatkan pendidik sebagai pelaku kekerasan di
sekolah memang tidak mudah dilupakan hingga saat ini, sehingga terkadang
menjadi momok bagi para guru untuk bertindak terhadap murid. Seperti terancam
oleh sebuah UU perlindungan anak, maka pada akhirnya guru memilih diam dengan
kondisi anak yang amoral daripada tegas demi menjadikan sikap anak yang
terpuji. Kalau sudah begini bisa diprediksikan bagaimana nasib penerus bangsa
(murid) di Indonesia dalam memajukan negeri ini, masih adakah harapan- harapan
pendidik untuk menciptakan generasi muda yang cerdas atau hanya sekedar doa
tanpa tindakan nyata. Maka sebenarnya belum terlambat bagi kita pemerhati
pendidik untuk mancari solusi bagaimana seharusnya kita menyikapi hukum yang
sudah terlanjur diterapkan di Indonesia. Ada beberapa hal yang bisa menjadi
solusi dari permasalahan dua hukum ini yaitu UU perlindungan anak dan UU
profesi guru seperti pengembangan pengetahuan yang lebih dalam lagi mengenai
isi dari UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 74
Tahun 2014 tentang Profesi Guru serta Permendikbud No. 10 Tahun 2017 tentang
Perlindungan Profesi Guru.
Dengan mengadakan sosialisasi baik itu terhadap guru maupun para orang
tua/wali murid tentang kedua hukum baik itu UU perlindungan anak atau UU
perlindungan profesi guru, sehingga mereka paham makna dan aturan-aturan
terkait kedua hukum tersebut, dengan begitu akan terciptanya kerjasama yang
baik antara guru dan orang tua/wali murid dalam menciptakan proses pendidikan
yang diharapkan. Kemudian memberikan pengarahan batasan-batasan kekerasan yang
boleh dilakukan oleh guru di lingkungan sekolah. Bahkan kepada siswa juga dapat
diberikan pengarahan dan surat peringatan batasan kesalahan sehingga siswa
tidak melakukan segala sesuatunya dengan kehendaknya sendiri.
Dan yang terakhir adanya mekanisme penyelesaian masalah tindak kekerasan
yang dilakukan oleh guru terhadap siswa di lingkungan sekolah. Adanya
musyawarah secara damai seperti pihak sekolah meminta maaf kepada orang
tua/wali murid yang merasa tidak senang karena anaknya mendapat perlakuan yang
tidak baik dari seorang guru dan kalau memang hal itu sampai terbukti
kebenarannya, maka sekolah memberikan perawatan medis bagi siswa yang mengalami
luka fisik serta melakukan pemecatan kepada guru yang melakukan tindak
kekerasan yang merupakan pilihan tepat dalam menyelesaikan masalah tindak
kekerasan di lingkungan sekolah. Sedangkan untuk pihak sekolah turut andil
untuk lebih memberikan atau melakukan kegiatan sosialisasi tentang hak-hak yang
dimiliki oleh anak dan memberikan penjelasan serta pengarahan kepada anak atau
murid-muridnya untuk mengetahui dan memahami tentang tindak kekerasan itu dan
juga memberikan pengertian bahwa mereka (anak) dilindungi oleh pemerintah dari
tindak kekerasan melalui UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Sehingga perubahan menuju masyarakat yang terdidik dan lebih baik lagi dapat
terwujud. Sesuai dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional,
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Komentar
Posting Komentar